NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
Abstract
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai
Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah
suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya
memberikan pedoman bagi pengambilan
kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap
tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa
diminimalisir.
Substansi dari adanya dinamika dalam
aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya
perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam
norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan
kontekstualisasinya. Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan
terjadi apabila ada dinamika internal
(self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan untuk
pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila.Muara dari semua upaya perubahan
dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya
akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan warga masyarakat Indonesia.
Kata kunci : Dinamika, Pancasila, Ideologi.
1.
PENDAHULUAN
Dasar negara Republik Indonesia adalah Pncasila yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945 dan secara resmi disahkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945, kemudian diundangkkan dalam Berita Republik Indonesia
ber pan sama batang tubuh UUD 1945. Dalam kondisi kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila
tidak terhindar dari macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap
kredebilitas dirinya sebagai dasar negara ataupun ideologi, namun demikian
perlu segera kita sadari bahwa tanpa suatu platform dalam format dasar negara
atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat survive dalam menghadapi
berbagai tantangan dan ancaman.

Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding
fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam perjalanan panjang kehidupan
berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi dalam
aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut bisa berupa
penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang seharusnya. Walaupun
seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.
Pancasila sering digolongkan ke dalam
ideologi tengah di antara dua
ideologi besar dunia yang paling berpengaruh, sehingga sering disifatkan bukan
ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham
kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham
kolektivisme. Bahkan
bukan
berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yang
merepotkan aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa dan
bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam)
yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti
tepat di tengah.
Pada saat berdirinya negara Republik
Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945
dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak Nopember 1945
sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan
politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.Dengan kebijakan ini
berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi
pro Liberalisme.Deviasi ini dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1959.Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara
dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke
kiri.Kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik
di Indonesia yang berhaluan kiri (baca: PKI)
Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat
(kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan
Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30
September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama
(Ir.Soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto).
Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi
segala penyimpangan yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan
Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya
mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim
Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD
1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik dalam
menggelola negara. Pada tahun 1998
muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun
kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 rezim Pemerintahan Reformasi
sampai saat ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu
memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila dan UUD
1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
2. PEMBAHASAN
1. Dinamika Aktualisasi
Nilai Pancasila
Alfred
North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa
semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan
suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas
dan identitas diri dalam perubahan tidak
boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila
sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai
Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara
? dan, unsur nilai Pancasila manakah
yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono
(1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga
tataran nilai itu adalah:
Pertama,
nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak
dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan
prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh
waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.Dari segi
kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang
mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar
Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik
dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah
menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan
tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan,
persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
Kedua,
nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual.
Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang
merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi
tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan
tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang
dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam
bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang
dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai
instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana,
program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut.
Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR,
Presiden, dan DPR.
Ketiga,
nilai praksis, yaitu nilai yang
terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat
melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada
demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi
kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan
oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai
praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas.
Jika
ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai
praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental
itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan,
strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir
dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi
suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau
aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu
ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat
logis serta konsisten pada tahap nilai
dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya
rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan
kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa
bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara
nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika
konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak
akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga
tataran nilai tersebut.
Untuk
menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup
berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang
abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang
umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno,
1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan
individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya
dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Driyarkara
menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak
transformasi Pancasila formal sebagai kategori
tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori
imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi
berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang
berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111).
Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasila sebagai ideologi bersifat
futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan.
Masalah
aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis
kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati
Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan
yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam
berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai
konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas
dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat
berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan
mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa
prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum
teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis
perlu terus menerus diadakan perubahan,
baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau
kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin
perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa
lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu
mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan
melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya
dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori
Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas)
mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian
ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah.
Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori A.N.Whitehead,
setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya
kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan
objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong.
Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya
untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi
nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan
pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi
kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan
dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.
Untuk melihat transformasi Pancasila
menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis
pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi;
wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami
transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis
pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang
meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan
Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2,
dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis
(Suwarno, 1993: 126).
2. Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan
dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang
timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya
proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah
semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu
sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan realitas
yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam
menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau
unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan
transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah
dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Dewasa
ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi,
terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun
bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya
asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi.Dalam kaitan imi, M.Habib
Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai
akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus
budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi
komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat
dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang
mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat
menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami,
bahwa dalam kehidupan dewasa ini,
teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata
kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil
tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya
faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya
tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau
tahu “tawaran” atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir,
yang seolah-olah menganggap bahwa ada eksistens
yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut
sebagai the fallacy of misplace
concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi
terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap
yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
Dalam
konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau
menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik
sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah
sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang
mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar di dunia
sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara
dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan
pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman
menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai,
ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru.
Ideologi Pancasila pun
dituntut seperti itu.
Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan
teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari luar.
Prof.
Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut,
yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari
luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan
dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan
demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka
dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang
serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34).
Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan
Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat
menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa
mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika
Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan
yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang
tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya
di masa mendatang. Sedangkan penerapan
atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada
relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi,
bukan hanya Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing,
namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong
kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14)
menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan
bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan
internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang
pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
Ideologi
Pancasila bukanlah gambaran
religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis
agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa
Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran
dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi
pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi
sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan
sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan
yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi
tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara
kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan
masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan.
Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan
asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan dapat
memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa
Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup
sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena
dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia
menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima
secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak
pantas untuk diintegrasikan dalam
pengembangan dirinya.
Bangsa
Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain,
namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat
dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan
dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam
menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk bisa menjalankan peran
itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai
kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan
sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri
bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi
dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia
(Sastrapratedja, 1996: 3).
Semuanya
itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu neneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir
Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam
menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya,
membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli.
Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan
pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah
terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman
universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg,
melainkan harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu memberikan
pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam
memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang
sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi
terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak
kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai
kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan
aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya
penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau
untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan
permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu
kesatuan yang integral.
Teori
hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles
menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe),
namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak.
Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi
materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan.
Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang kesinambungan.
Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas yang telah
ada pada masa
lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.
3. SIMPULAN
Dinamika
dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu
relevan dalam fungsinya memberikan pedoman
bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara
terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi
terhadap Pancasila bisa diminimalisir.
Substansi dari adanya dinamika dalam
aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya
perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam
norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan
kontekstualisasinya. Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan
terjadi
apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap
nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi
Pancasila.Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam
mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan
kredibilitas Pancasila oleh warganegara dan warga masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir
Besar. 1994. Pancasila dan Alam Pikiran
Integralistik (Kedudukan dan
Peranannya dalam Era Globalisasi). Yogyakarta
Bachtiar,
Harsja W. (Peny.).1976. Percakapan dengan
Sidney Hook tentang Masalah
Filsafat. Jakarta: Jambatan.
Bakker,
Anton.1992. Ontologi atau Metafisika Umum.
Yogyakarta: Kanisius.
Bertens.
Kess. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Damardjati
Supadjar.1990. Konsep Kefilsafatan
tentang Tuhan Menurut Alfred Nort
Whitehead. Yogyakarta: Disertasi Doktor di UGM.
Driyarkara,
N.1959. Pantjasila dan Religi.
Yogyakarta
-----------------.1993
(Cet.ke-12).Filsafat Manusia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Habermas, Jurgen.1990.
Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.
Habib Mustopo, M.1992. Ideologi Pancasila dalam Menghadapi
Globalisasi dan Era
Tinggal Landas. Bandungan-Ambarawa:
Panitia Seminar dan Loka Karya
Nasional MKDU Pendidikan
Pancasila Dosen-dosen PTN/PTS dan
Kedinasan Pada tanggal 29 – 30 September 1992.
Hardono Hadi, P. 1994.Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila.
Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Kansil, C.S.T.1971. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Pradnya
Paramita.
Kattsoff, Louis O.1953.
Elements of Philosophy. New York: The Ronald Press Comp.
Koento Wibisono. 1988. Pancasila Ideologi Terbuka. Magelang:
Panitia Temu Karya
Dosen-Dosen PTN Se-Jawa
Tengah dan Kopertis Wil.VI.
Leahy,
Louis. 1993. “Ideologi Tinjauan Historis
dan Kritis”. Yogyakarta: dalam
Majalah Basis No.42, halaman 130 – 135.
Liek
Wilardjo. 1990.Realita dan Desiderata.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Lorens Bagus. 1991. Metafiska. Jakarta: PT Gramedia.
Magnis Suseno, Franz.
1991. Berfilsafat dari Konteks.
Jakarta: PT Gramedia.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia (Menyingkap Kaitan
Pikiran dan Politik).
Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Moerdino.
1995/1996. “Pancasila sebagai Ideologi
Terbuka Menghadapi Era Globalisasi dan
Perdagangan Babas”, dalam Majalah Mimbar
No.75 tahun XIII.
Notonagoro.
1974 (Cet.Kelima). Beberapa Hal Mengenai
Falsafah Pancasila. Jakarta: Universitas Pancasila.
Pranarka
A.M.W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang
Pancasila. Jakarta: CSIS.
Sartono
Kartodirdjo. 1990. Kebudayaan Pembangunan
dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soerjanto
Poespowardojo. 1989. Filsafat Pancasila.
Jakarta: Gramedia.
Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudarminta,
J. 1991. Filsafat Proses (Sebuah Pengantar
Sistematik Filsafat Whitehead).Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suwarno,
P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Thohari, A. Ahsin. 2010. http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/672-desain-konstitusional-komisi-yudisial-dalam-sistem-ketatanegaraan-indonesia.html/diakses pada 17/12/12.
Anonim. 2012.
http://ebookbrowse.com/penerapan-dan-revitalisasi-nilai-pancasila-politik-sosial-budaya-pdf-d374915657/2012-07-31/diakses
17/12/12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar