Senin, 17 November 2014

Laporan Penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen terlarut


 




I.                   JUDUL
Penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen terlarut
II.                TUJUAN
Oksigen Untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap :
 1. Oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh suhu air
 2. Oksige yang terkandung dalam air karena pengauh kadar garam dalam air

III.             DASAR TEORI

Hewan dapat memiliki suhu tubuh yang bervariasi atau konstan. Hewan yang suhu tubuhnya bervariasi bertuut lingkungan disebut poikiloterm (dari kata Yunani poikilos, bervariasi). Dari deskripsi ektoterm dan endoderm, tampaknya ektoterm adalah poikiloterm. Misalnya, kebanyakan ikan laut dan invertebrate ektotermik menghuni  perairan dengan suhu yang sedemikian stabi sehingga suhu tubuhnya kalah bervariasi daripada suhu tubuh endoterm  seperti manusia  dan mamalia lain (Campbell, 2008 : 15-16).
Hewan poikilotermik (berdarah dingin) yang harus menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu lingkungan dengan mengambil panas matahari di pagi hari dalam melakukan fungsi fisiologis metabolis untuk melakukan aktivitas gerakan tubuh (Iyai, 2006: 57).
Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik yaitu tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Selama hidupnya suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu air laut tempat hidupnya. Oleh karena itu adanya perubahan suhu air akan membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi organisme perairan, diantaranya kematian, menghambat prosespertumbuhan,mengganggu proses respirasi, dan lain-lain (Staf, 2010).
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya. Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan (Fujaya, 2004).

Perubahan salintas dapat berpengaruh terhadap toleransi suhu organisme akuatik poikiloterm. Terjadinya resistensi tinggi karena stres suhu perlu dicermati, oleh sebab itu salinitas dapat menyelaraskan isoosmotisitas antara darah dan media di luar (Winanto, 2009).


IV.             METODE PENELITIAN
a.        Alat dan Bahan Praktikum
Alat                                    : Bak plastic, thermometer, timbangan, kompor, panic, gelas piala, gelas ukur, pengaduk, stopwatch, boardmarker.
Bahan percobaan    : es batu, ikan tombro dan ikan mas

b.      Cara Kerja



V.           HASIL PENGAMATAN
kel
perlakuan
Berat (gr)
Suhu (0c)
Gerakan Operculum
Rata-rata
1
2
3
1
Dingin
7,6gr
Awal :26 0c
Suhu : 23  0c
Suhu :  20 0c
Suhu : 17 0c
Suhu : 14 0c
Suhu : 11 0c
Kolaps : 8 0c
72
68
60
39
34
7
4
49
60
56
49
17
8
Kolaps
61
61
47
38
21
8
Kolaps
60
63
54
42
24
7,6
-
2
Dingin
9 gr

Awal: 240c
Suhu :21 0c
Suhu : 18 0c
Suhu :150c
Suhu :120c
Kolaps :9 0c
76
66
24
15
12
6
84
60
42
27
22
8
119
74
53
10
12
9
93
67
43
17
15
8
3
Dingin
9 gr
Awal: 26 0c
Suhu :230c
Suhu : 20 0c
Suhu : 17 0c
Suhu :14 0c
Suhu :11 0c
Suhu :8 0c
Kolaps : 5 0c
84
63
97
100
51
27
13
Kolaps
86
66
101
76
49
25
10
Kolaps
112
79
114
75
39
22
6
Kolaps

94
69
104
84
46
25
10
-
4
Dingin
7,6gr
Awal: 270c
Suhu : 24 0c
Suhu : 21 0c
Suhu : 18 0c
Suhu : 15 0c
Kolaps : 12 0c
124
82
76
63
50
32
123
100
73
63
62
41
121
105
75
75
55
Kolaps
123
96
75
67
56
36
5
Panas
5,8 gr
Awal: 270c
Suhu : 30 0c
Suhu : 33 0c
Suhu : 36 0c
Suhu : 39 0c
Kolaps : 42 0c
100
133
98
107
135
Kolaps
105
117
55
90
148
Kolaps

100
134
65
110
153
Kolaps
108,3
121,3
72,6
102
145
Kolaps
6
Panas
6,6 gr
Awal: 270c
Suhu : 30 0c
Suhu : 35 0c
Suhu : 36 0c
Suhu : 39 0c
Kolaps : 420c
131
147
147
174
152
117
138
146
163
167
153
Kolaps


128
145
181
179
158
Kolaps
132
146
163
173
154
117
7
Panas
5,6 gr
Awal: 260c
Suhu : 290c
Suhu : 32 0c
Suhu : 35 0c
Suhu : 38 0c
Kolaps : 410c
122
138
153
111
107
99
136
136
116
116
112
78
137
150
126
109
117
colaps
131,6
141,3
131,6
112
112
88,5
8
Panas
7,9 gr
Awal: 250c
Suhu : 28 0c
Suhu : 31 0c
Suhu : 34 0c
Suhu : 37 0c
Kolaps : 400c
126
131
147
178
187
219
122
140
149
185
237
211
110
125
147
166
155
colaps
119,3
132
147,6
176,3
193
215



VI.             PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini berjudul penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen terlarut memiliki tujuan untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh suhu air dan oksige yang terkandung dalam air karena pengauh kadr garam dalam air. Bahan uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan mas. Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan diri pada suhu lingkungan sekelilingnya. Ikan mempunyai derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat ditoleransi.

Adapun cara kerja yang dilakukan yaitu percobaan pertama, mengisi toples kaca dengan air kran dan memberi batas volume air dengan boardmaker dan mengukur suhu awalnya. Setelah itu menimbang berat ikan yang akan digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh berat ikan terhadap kecepatan penggunaan oksigen terlarut. Kemudian memasukkan ikan yang sudah ditimbang kedalam toples kaca yang telah berisi air, setelah ikan tenang maka dilakukan penghitungan gerak operculum per menit dan mengulanginya sebanyak  3 kali dan menghitung rata-ratanya. Kemudian menaikkan suhu air dengan interval 300C dengan cara menambahkan air panas kedalam toples kaca namun tetap menjaga agar volume air tidak berubah agar ikan tidak muncul kepermukaan dan keluar dari toples kaca karena volume air bertambah banyak dan menjaga kadar oksigen yang terlarut agar tetap dan tidak berpengaruh yaitu itu dengan mengurangi air dalam toples sebanyak air panas yang ditambahkan. Setelah ikan tenang, menghitung gerak operculum per menit dan mengulanginya sebanyak  3 kali dan menghitung rata-ratanya. Kenaikan suhu diteruskan sampai mencapai suhu kritis tertinggi dan menghentikan perlakuan pada saat ikan mulai kolaps.
Pada percobaan kedua, yaitu mengisi toples kaca dengan air kran dan memberi batas volume air dengan boardmaker dan mengukur suhu awalnya. Setelah itu menimbang berat ikan yang akan digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh berat ikan terhadap kecepatan penggunaan oksigen terlarut. Kemudian memasukkan ikan yang sudah ditimbang kedalam toples kaca yang telah berisi air, setelah ikan tenang maka dilakukan penghitungan gerak operculum per menit dan mengulanginya sebanyak  3 kali dan menghitung rata-ratanya. Kemudian menaikkan suhu air dengan interval 300 C dengan cara menambahkan es batu kedalam toples kaca namun tetap menjaga agar volume air tidak berubah agar ikan tidak muncul kepermukaan dan keluar dari toples kaca karena volume air bertambah banyak dan menjaga kadar oksigen yang terlarut agar tetap dan tidak berpengaruh yaitu dengan mengurangi air dalam toples sebanyak es batu yang ditambahkan. Setelah ikan tenang, menghitung gerak operculum per menit dan mengulanginya sebanyak  3 kali dan menghitung rata-ratanya. Kenaikan suhu diteruskan sampai mencapai suhu kritis terendah dan menghentikan perlakuan pada saat ikan mulai kolaps.
Pada praktkum ini, dilakukan 2 perlakuan. Yaitu perlakuan dengan pemberian air panas dan air dingin. Pada perlakuan pemberian air panas dilakukan pada kelompok 5, 6, 7 dan 8. Dari keempat kelompok tersebut memiliki tingkat kolaps yang berbeda. Pada kelompok 5 ikan mas mengalami kloaps pada kenaikan suhu 420 C dengan suhu awal 270 C dengan rata-rata operkulum 145 kali. Kelompok 6 ikan mas mengalami kloaps pada kenaikan suhu 420 C dengan suhu awal 270 C dengan rata-rata operkulum 117 kali  . Kelompok 7 ikan mas mengalami kloaps pada kenaikan suhu 410 C dengan suhu awal 260 C dengan rata-rata operkulum 88 kali.  Kelompok 8 ikan mas mengalami kloaps pada kenaikan suhu 400 C dengan suhu awal 250 C dengan rata-rata operkulum 215 kali. Dari hasil pengamatan dapat diketahui  bahwa semakin tinggi suhu dinaikkan dari suhu normal, maka gerakan operculum juga semakin meningkat. Ketika suhu dinaikkan maka akan terjadi penurunan O2 dalam air, sehingga gerakan operculum ikan juga semakin meningkat. Hal ini dikarenakan molekul air lebih padat dan lebih sulit bergerak atau mengalir, sehingga memungkinkan air jauh lebih sulit mengalir ke organ pernafasan. Oleh karena itu, ikan harus mengeluarkan energi lebih banyak. Hal ini dapat mempersulit ikan untuk memperoleh O2, apalagi dengan perlakuan berupa menaikkan dan menurunkan suhu dari kamar.   
Saat dilakukannya praktikum, dapat diamat pada saat menaikkan suhu lingkungan, proses pernafasan yang dilakukan oleh ikan berlangsung sangat cepat yang dibuktikan dengan meningkatnya intensitas gerakan operculum membuka dan menutup. Hal ini di akibatkan kadar O2 dalam air menjadi semakin berkurang sehingga memacu kerja operculum dan mempercepat metabolisme tubuh.   Dan pada saat ikan akan kolaps, kerja dari operculum lama-lama melambat. Hal ini karena  ikan  sudah tidak mampu menyeimbangi suhu yang   didapat serta karena kadar O2 yang semakin berkurang, sedangkan energy yang dibutuhkan sangatlah besar.

Selain itu, berat dari ikan mas juga mempengaruhi laju operculum bekerja. Dapat diketahui , semakin besar berat ikan mas, maka kemungkinan untuk kolaps lebih lama. Hal ini dikarenakan Semakin berat massa ikan maka kebutuhan O2 semakin sedikit. Karena berat tubuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan O2 dalam tubuh ikan.
Selanjutnya, pada perlakuan kedua yaitu dengan pemberian es batu. Pada perlakuan ini dilakukan oleh kelompok 1, 2, 3 dan 4. Hasil dari kelompok 1 menunjukkan bahwa ikan kolaps pada suhu 80 C dengan suhu awal 260 C dan rata-rata operculum 4. Kelompok 2 menunjukkan bahwa ikan kolaps pada suhu 90 C dengan suhu awal 240 C dan rata-rata operculum 8. Kelompok 3 menunjukkan bahwa ikan kolaps pada suhu 50 C dengan suhu awal 260 C dan rata-rata operculum 10. Kelompok 4 menunjukkan bahwa ikan kolaps pada suhu 12 0C dengan suhu awal 270 C dan rata-rata operculum 36.
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa semakin suhu diturunkan dari suhu normal, maka gerakan operculum juga semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah suhu pada lingkungan maka intensitas gerakan operculum semakin lambat dikarenakan proses metabolisme berjalan lambat dan memperlambat kerja organ pernafasan pada ikan karena membekunya berbagai organ vital. Suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa penurunan laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen.



VII.          PENUTUP

8.1. Kesimpulan
1. Semakin tinggi suhu pada perairan, maka semakin rendah kelarutan oksigen dalam cairan
2. Semakin tinggi kadar garam dalam perairan, maka semakin rendah kandungan oksigen dalam cairan

8.2. Saran
Kalau dalam laporan praktikum tidak tercantum jurnal ISSN hanya satu, mohon dimaklumi. Semoga menjadi lebih baik lagi kedepannya






DAFTAR PUSTAKA
Campbell. 2008. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. Jakarta : Penerbit Erlangga
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta: P.T Rineka Cipta
Iyai ,Deny Anjelius., dkk. 2006.  Diversitas dan Ekologi Biawak (Varanus indicus) di Pulau Pepaya Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Irian Jaya Barat. Jurnal Biodiversitas. Vol: 7 (2). 181-186. ISSN: 1412-033X
Staf pengajar Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. 2010. Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan Barat-Timur Terkait dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan Spermonde. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. Vol. 20 (1) : 1 – 7. ISSN: 0853-4489
Winanto, Tjahjo., dkk. 2009. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) . Jurnal Biologi Indonesia. Vol:6 (1): 51-69 ISSN 0854-4425



Tidak ada komentar: